Wednesday, September 19, 2012

[LANJUTAN KE-3] KISAH PILU SEBUAH TAS RANSEL

Pagi dalam rasa. Semua manusia mengatakannya dingin, sejuk, segar. Rugi bila melewatkan pagi yang telah diberikan sang pencipta. Umurku bertambah satu pagi. Kubuka selimut tebal penghangat tubuh. Kaki ini masih berat saja melangkah. Tapi kupaksakan menuju jendela. Kubuka hati-hati. ”kree..ek”. ”Uh...”. mata segera memejam. Indera penciuman segera melebar memasukkan sebanyak-banyaknya partikel oksigen yang bertabur embun ke dalam paru-paru. ”Membersihkan udara lama, mendesaknya keluar menjadi udara pagi yang selalu segar. Khas bersama aroma rerumputan sebelum 90 menit terang. Tak sabar lagi keluarlah seluruh tubuh diatas jendela duduk memandang mentari yang belum muncul. Sampai seluruh aliran darahku segar kembali.
Entah betapa berat waktu yang kuhabiskan untuk sebuah ransel. Bukan aku saja yang merasakannya sendiri. Dalam ingatanku hampir orang sekampungku tahu. Bahkan CAMAT1 (baca: camat satu) telah merasakannya. Kualihkan pndanganku ke kanan. Jendela adikku sudah terbuka dan cahaya memencar dari dalam. Kualihkan kekiri pandangku kini. ”je’ tek” sebuah suara saklar lampu dan sekejap terang kamar kakak. Setidaknya seluruh keluargaku masih dikaruniai satu pagi. Aku menatap kosong kedepan sebuah tiang tinggi berdiri kokoh. Sudah disana sejak kusadar bahwa itu tiang listrik. Sebentar kemudian satu tema mengiang dalam kepalaku. Kulafaldzkan pelan-pelan:

SATU PAGI*

Satu pagi
     Satu pagi
           Satu pagi
                Lagi...
Untukku
     Hanyakah untukku
     Yang sadar tentang
            Satu pagi....lagi

 Kemudian suasana menjadi tenang. Hanya seretan sandal jepit, terdengar lambat berirama. Sebuah sarung, gamis putih dan songkok hitam khas bersama sajadah di pundak kanannya dengan tasbih. ”Engkong sanusi” sebentar lagi pasti suara surau menggema. Memekikkan teriakan untuk bangun pagi ini. Sudah pukul 4 pagi. Satu pagi jangan sampai terlewatkan. Betapapun menghimpit persoalan hidup yang terus menjadi episode kehidupan. Kuhirup kembali dalam-dalam udara pagi. ”whoosss....segarnya”

* * * * * * * * *

Pagi menjelang dan terang seakan memaksa kegelapan untuk sebentar merelakan tertutup terang. ”12 jam saja gelap, terang menggantikan dan juga sebaliknya gelap akan menggantikan selama 12 jam terang untuk gelap.  Kurasa itulah tanda alam untuk manusia. Bahwa akan dipergantikan antara gelap dan terang akan terus begitu. Yang berarti ada kesedihan dibalik kegembiraan juga sebaliknya. Kupandangi skali lagi ransel itu dipojokkan kamar tanpa daya menunggu nasibnya. Semua daya telah kugunakan tetap saja kau kembali. Aku tahu kini. Ransel ini pasti ingin selalu bersamaku. Kugunakan setiap hari dalam  segala akivitasku. Ada secercah harapan dalam pikir. Toch nanti akan rusak dengan sendirinya seperti tas-tasku sebelumnya. Sedikit demi sedikit jahitannya akan lepas. Sletingnya copot seperti terjadi pada nasib tas-tasku. Pada saat itu ransel ini akan menemui umurnya.

Satu demi satu buku dalam tas biasa kupakai kukeluarkan berganti menjadi tas ransel. Tak sadar air mata menitik satu-satu. Aku tahu kisah pilu itu dan takkan pernah terlupa. Dibalik kisah pilu sebuah ransel. Kuhapus airmata yang mengalir. Kutahu ini tulus dari seorang sahabat walau dalam kenangan sebuah tas ransel. Entah apa yang akan terjadi nanti. Pandangan teman-teman. Pasti akan aneh sekali. Sebuah tas ransel besar di gunakan untuk ke kantor. Tapi biarlah. Sebuah konsekwensi untukku. Toh ini negeri demokrasi. Setiap warganya berhak melakukan apa saja yang tak bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku.

Kuturuni tangga satu demi satu. Seluruh keluarga duduk di meja makan. Mengalihkan pandangannya padaku. Aku sudah tahu apa yang akan ditanyakan. Segera saja kujawab. Bahwa mulai hari ini akan kukenakan ransel ini untuk kerja. ”Tapi kau akan very sad,” ibuku berkata padaku. ”Tidak apa, Bu. Pasti sahabatku menginginkan aku mengenakannya walau entah apa alasannya”. Balaskku atas pertanyaan ibu. Dan ruangan makan hening. Seluruhnya meneruskan makan pagi. Satu-satu air mata menetes kembali. Bukan hanya aku bahkan seluruh keluarga. Ya biarlah, semoga dapat melapangkan dada kita semua di keluarga ini. Untuk menerima kenyataan dari kisah pilu sebuah tas ransel. 

--------------------------------------
Artikel adalah original buatan saya, karena Multiply akan menghapus feature BLOG
maka saya pindahan content Blog Multiply saya ke Blogspot ini.

Source: http://ya2nya2n.multiply.com

No comments:

Post a Comment