Entah
betapa berat waktu yang kuhabiskan untuk sebuah ransel. Bukan aku saja
yang merasakannya sendiri. Dalam ingatanku hampir orang sekampungku
tahu. Bahkan CAMAT1 (baca: camat satu) telah merasakannya. Kualihkan
pndanganku ke kanan. Jendela adikku sudah terbuka dan cahaya memencar
dari dalam. Kualihkan kekiri pandangku kini. ”je’ tek” sebuah suara
saklar lampu dan sekejap terang kamar kakak. Setidaknya seluruh
keluargaku masih dikaruniai satu pagi. Aku menatap kosong kedepan sebuah
tiang tinggi berdiri kokoh. Sudah disana sejak kusadar bahwa itu tiang
listrik. Sebentar kemudian satu tema mengiang dalam kepalaku. Kulafaldzkan pelan-pelan:
SATU PAGI*
Satu pagi
Satu pagi
Satu pagi
Lagi...
Untukku
Hanyakah untukku
Yang sadar tentang
Satu pagi....lagi
Kemudian suasana menjadi tenang. Hanya
seretan sandal jepit, terdengar lambat berirama. Sebuah sarung, gamis
putih dan songkok hitam khas bersama sajadah di pundak kanannya dengan
tasbih. ”Engkong sanusi” sebentar lagi pasti suara surau menggema.
Memekikkan teriakan untuk bangun pagi ini. Sudah pukul 4 pagi. Satu pagi
jangan sampai terlewatkan. Betapapun menghimpit persoalan hidup yang
terus menjadi episode kehidupan. Kuhirup kembali dalam-dalam udara pagi.
”whoosss....segarnya”
* * * * * * * * *
Pagi
menjelang dan terang seakan memaksa kegelapan untuk sebentar merelakan
tertutup terang. ”12 jam saja gelap, terang menggantikan dan juga
sebaliknya gelap akan menggantikan selama 12 jam terang untuk gelap. Kurasa
itulah tanda alam untuk manusia. Bahwa akan dipergantikan antara gelap
dan terang akan terus begitu. Yang berarti ada kesedihan dibalik
kegembiraan juga sebaliknya. Kupandangi skali lagi ransel itu dipojokkan
kamar tanpa daya menunggu nasibnya. Semua daya telah kugunakan tetap
saja kau kembali. Aku tahu kini. Ransel ini pasti ingin selalu bersamaku. Kugunakan setiap hari dalam segala
akivitasku. Ada secercah harapan dalam pikir. Toch nanti akan rusak
dengan sendirinya seperti tas-tasku sebelumnya. Sedikit demi sedikit
jahitannya akan lepas. Sletingnya copot seperti terjadi pada nasib
tas-tasku. Pada saat itu ransel ini akan menemui umurnya.
Satu demi satu buku dalam tas biasa kupakai kukeluarkan berganti menjadi tas ransel. Tak
sadar air mata menitik satu-satu. Aku tahu kisah pilu itu dan takkan
pernah terlupa. Dibalik kisah pilu sebuah ransel. Kuhapus airmata yang
mengalir. Kutahu ini tulus dari seorang sahabat walau dalam kenangan
sebuah tas ransel. Entah apa yang akan terjadi nanti. Pandangan
teman-teman. Pasti akan aneh sekali. Sebuah
tas ransel besar di gunakan untuk ke kantor. Tapi biarlah. Sebuah
konsekwensi untukku. Toh ini negeri demokrasi. Setiap warganya berhak
melakukan apa saja yang tak bertentangan dengan hukum dan norma yang
berlaku.
Kuturuni
tangga satu demi satu. Seluruh keluarga duduk di meja makan.
Mengalihkan pandangannya padaku. Aku sudah tahu apa yang akan
ditanyakan. Segera saja kujawab. Bahwa mulai hari ini akan kukenakan
ransel ini untuk kerja. ”Tapi kau akan very sad,” ibuku berkata padaku.
”Tidak apa, Bu. Pasti sahabatku menginginkan aku mengenakannya walau
entah apa alasannya”. Balaskku atas pertanyaan ibu. Dan ruangan makan
hening. Seluruhnya meneruskan makan pagi. Satu-satu air mata menetes
kembali. Bukan hanya aku bahkan seluruh keluarga. Ya biarlah, semoga
dapat melapangkan dada kita semua di keluarga ini. Untuk menerima
kenyataan dari kisah pilu sebuah tas ransel.
--------------------------------------
Artikel adalah original buatan saya, karena Multiply akan menghapus feature BLOG
maka saya pindahan content Blog Multiply saya ke Blogspot ini.
Source: http://ya2nya2n.multiply.com
No comments:
Post a Comment