Tuesday, October 16, 2012

Heroik

Bila kau ingin mengenal Hafsah, maka lihatlah bagaimana Umar, Ayahnya! 
Begitu juga bila engkau ingin sekali mengenal Aisyah, bacalah karakter Abu Bakar, Ayahnya! 

Abu Bakar dikenal dengan julukannya Ash-Shidiq. Begitu pula dengan Aisyah yang sering dijuluki dan dipanggi Ash Shidiqah binti Ash-Shidiq. Pada zaman dimana Ayah adalah madrasah bagi anak-anaknya. Anak-anaknya bangga mewarisi karakter dan sifat Ayahnya yang amat dicintainya. Dimana zaman tersebut adalah tarbiyah tanpa henti dan tanpa jeda. Zaman dimana Ayah Bundanya adalah teladan bukan hanya dari perkataannya tapi lengkap dengan perbuatannya yang berakhlaqul karimah. Tentu sang anak bertambah bangga meleburkan sifatnya dengan sifat-sifat orang tuanya.

Kisah ini saya baca dan di-ambil dari tulisan Salim A Fillah,


Namanya Qais ibn Sa’d ibn ‘Ubadah. Ayahnya, Sa’d ibn ‘Ubadah, pemimpin suku Khazraj di Madinah. Rasulullah menyebut keluarga ini sebagai limpahan kedermawanan. Ketika para muhajirin datang, masing-masing orang Anshar membawa satu atau dua orang yang telah dipersaudarakan dengan mereka ke rumahnya untuk ditanggung kehidupannya. Kecuali Sa’d ibn ‘Ubadah. Dia membawa 80 orang muhajirin ke rumahnya!
Saat masuk Islam, Sa’d ibn ‘Ubadah menyerahkan sang putera kepada Rasulullah. “Inilah khadam anda wahai Nabi Allah”, ujar Sa’d. Tapi menurut Anas ibn Malik, Qais lebih pas disebut ajudan Sang Nabi. Dan air cucuran atap jatuhnya ke pelimbahan juga. Dalam pergaulannya di kalangan pemuda, Qais sangat royal seperti bapaknya di kalangan tua-tua. Tak terhitung lagi sedekah dan dermanya. Tak pernah ditagihnya piutang-piutangnya. Tak pernah diambilnya jika orang mengembalikan pinjaman padanya.
Kedermawanan Qais begitu masyhur di kalangan muhajirin hingga menjadi bahan perbincangan. Sampai-sampai suatu hari Abu Bakr Ash Shiddiq dan ‘Umar ibn Al Khaththab berbicara tentangnya dan berujar, “Kalau kita biarkan terus pemuda ini dengan kedermawanannya, bisa-bisa habis licinlah harta orangtuanya!”
Pembicaraan ini sampai juga ke telinga sang ayah, Sa’d ibn ‘Ubadah. Apa komentarnya? Menarik sekali. “Aduhai siapa yang dapat membela diriku terhadap Abu Bakr dan ‘Umar?!”, serunya. “Mereka telah mengajari anakku untuk kikir dengan memperalat namaku!” Mendengarnya para sahabat pun tertawa. Lalu Abu Bakr dan ‘Umar meminta maaf padanya.
Ah, Qais dan Sa’d. Ayah dan anak ini sebaris di jalan cinta para pejuang. Tak ada bedanya.
* * *
Kita beralih ke zaman ini. Dimana ayah-ayah menyerahkan pendidikan anak-anaknya pada televisi pada games, pada artis-artis K-Pop tanpa mereka mengenal bagaimana sirah  Nabi-nya, para sahabat dan paling menyedihkan adalah Ayah kandungnya yang juga tidak peduli. Bagaimanakah kita akan mendapatkan Qois, Fatimah, Aisyah di zaman ini apabila Ayah Bundanya tidak mengindahkan bagaimana karakter dan sifatnya.

Saya ingat bagaimana Salman Al Farisi dibesarkan menjadi Panglima perang oleh ayahnya. Setiap Pagi 1/3 Malam Salman Al Farisi yang masih belia dibangunkan oleh Sang Ayah, "Bangunlah wahai kau Salman Al Farisi, Anakku. Sesunnguhnya engkau kelak akan menaklukkan Persia".Selalu seperti itu, setiap pagi hari di- 1/3 malam. Sejarah mencatat kemudian Salman Al-Farisi menjadi Gubernur pertama Muslim di Persia. Menaklukannya hanya dengan 3000 tentara. 

Pendidikan Heroik harus ditanamkan oleh sang Ayah sejak dini. Keteladanan bukan hanya lisan tapi juga perbuatan mutlak harus dilakukan tak bisa ditawar lagi. Madrasah generasi ungulanharus sudah dimulai dari rumah melalui Ayah Bundanya. Dalam Madrasah tanpa libu dan jeda, terus menerus. Jadilah Ayah Bunda Heroik bagi Anak-Anak kita sekalian, pemangku kepemimpinan Islam masa depan. Bismillah, tekadkan Azam.

3 comments: