Wednesday, September 19, 2012

KALAU DUNIA BEGITU MERANGKULMU

”Istriku, Zeni dan Zena, hari ini ayah mendapat rezeki tak terhingga
bahkan diprediksi sampai 20 tahun kedepan laba dari saham-saham dan perusahaan
ayah akan terus mengalir tiada henti, Alhamdulillah.”

Ayahku mengumumkannya di makan malam keluarga yang biasa kami lakukan di meja makan bersejarah. Meja makan yang tak pernagh tergantikan sejak kami tinggal di pinggiran kota Jakarta hingga Rumah kami ada di tengah-tengah pusat kota Jakarta yang sangat strategis. Ayah menyebutkan bahwa meja makan ini sangat bersejarah dan tak kan tergantikan. Walaupun terlihat sudah tak sesuai trend meja makan saat ini tapi setidaknya tak pernah rusak, kuat rayap-pun tak mampu menggigitnya kecuali akan tanggal gigi-giginya tak tersisa. ”Buatan Jepara Asli, kuat sampai 200 tahun.” Ayahku berkata suatu hari menceritakan sejarah meja makan ini.

Alhamdulillah”, itu adalah ucapan syukur yang terakhir dari ayah. Seingatku sejak itu arah tujuan hidup Ayah dan keluarga Subronto ini berubah drastis. Jarang sekali kudengar Tasbih, Tahmid atau sekedar mengucapkan salam saat kami meninggalkan meja makan. Karena hanya tinggal Aku dan pembantuku saja yang tersisa di meja makan ini. Tempat bertemu kami di meja makan bersejarah menurut Ayah sepi sudah.

Dalam lamunan malam, satu suap makanan yang ada di hadapan tak sanggup lagi tertelan bahkan tak sanggup mengangkat sendok apalagi membelah daging stik yang ada di hadapanku. Begitu berlimpah hidangan di hadapanku. Untuk 4 orang namun hanya aku yang duduk disini di meja makan kenangan.

”Non Zena, kenapa? Ndak enak ya makanan yang bibi buatkan.” dengan lembut bibi imah mencoba berbincang denganku.

Inilah yang kukhawatirkan ketika bibi bertanya dan khawatir makanan yang di buatnya tidak enak. Padahal masakan bibi adalah masakan yang sejak ayah dan ibuku berada di rumah yang elite ini sebelum masa sukses begitu dirindukan karena terjamin kelezatannya. Setiap masakannya akan habis tanpa sisa di meja makan. Terlebih Zeni adikku bisa 2 kali menambah porsi makanannya. Tidak ada satupun dari keluargaku yang menginginkan makan di luar. Masakan Bibi dapat mengalahkan masakan koki-koki terkenal bintang lima.

”Ndak, kok bi! Biarlah zena memandangi makanan ini terlebih dahulu. Mengenang masa-masa lalu saat meja makan ini penuh canda, tawa, mimpi dan motivasi hingga tangis.”

”Indah ya Bi, kalau masih seperti dulu, suasana makan malam keluarga ini.”

Semuanya bermula dari kesuksesan demi kesuksesan yang di raih Ayah. Saham-saham yang dimiliki hingga Perusahaannya telah memiliki 1000 lebih karyawan tersebar di Indonesia dan di beberapa negara. Sebenarnya Ayah tak berubah masih memperhatikan kedua anaknya yang begitu di cintai apalagi Ibu. Walau kini mereka berdua semakin sering melancong dengan alasan bisnis ke luar negeri tetap saja mengontrol kami setiap hari.

”Zena, ibu di Italia sekarang. Kalau butuh apapun kemarin sudah ibu beritahu sekretaris unuk mentransfer uang ke rekeningmu. Jadi kau bisa melakukan apa pun yang dibutuhkan. Oh, ya Ibu akan Pulang dua minggu lagi karena Ayah akan melihat perusahaannya di Mesir dan Argentina. Baik-baik ya. Jaga Zeni.”. “Klik”

Telepon terputus tanpa menungguku mengatakan sepatah katapun menuangkan keresahan hatiku. Pernah ku check tabunganku yang tak kusangka berisi seharga 1 mobil Honda Jazz. Aku tak pernah menggunakannya selain untuk membayar uang kuliahku setiap semester dan membeli buku serta keperluan pokok sehari-hariku. Namun yang begitu kukhawatirkan adalah Zeni. Seminggu yang lalu ia diam-diam membeli mobil sedan ter gress saat ini. Saat kutanya adikku hanya mengatakan untuk mempermudah berpegian sekolah. Tak jarang kini kulihat adikku datang kerumah dengan mengajak teman laki-laki di kala tengah malam. Sudah kuingatkan, namun tetap saja dia berkeras dengan pendiriannya bahwa dia tidak melakukan apa-apa hanya berbincang.

Selesai makan malam yang kulewati setiap hari dengan sepi ditemani bi, Imah. Yang kini tak pernah kuhabiskan masakannya karena begitu menumpuknya pikiran yang ada di kepalaku. Maafkan aku, Bi. Tak pernah lagi menghargai makanan yang harusnya lezat tapi tak pernah kuhabiskan lagi di setiap malam selama ini.

Entah apa lagi yang harus kuperbuat. Semuanya telah berubaht seiring kesuksesan yang di raih Ayah. Uang yang mengalir dengan prediksi 20 tahun kedepan tak habis. Bahkan Ayah pernah berkata apabila kami ingin membeli Rumah di Singapura atau Inggris tinggal bilang saja. Sekretaris yang akan mengurusnya. Aku jadi teringat saat SMP. Untuk membayar SPP-ku Ayah berkorban untuk berpuasa Daud demi menghemat ongkos dan menggunakannya untuk membayar SPP-ku. Setiap malam selesai makan di meja makan bersejarah kami berdoa bersama kemudian menuju musholla kecil yang sebenarnya ruang tamu yang disulap dapat digunakan untuk sholat berjamaah keluarga saat rumah kami masih di pinggiran Jakarta. Kami Sholat dua Rakaat dan berdoa bersama kemudian menuju ruang tidur kami masing-masing sambil bersalaman dan Ayah tidak pernah lupa mencium keningku dan mengelus rambutku. Ibu berdoa kecil di telinga kami, “Jadi anak yang sholehah ya Zena, jangan lupakan berdoa untuk ibu dan ayah”. </P>

“Ya, Allah, Aku masih mendoakan Ayah dan Ibuku hingga saat ini bahkan kutambah agar mereka segera sadar bahwa harta yang telah didapat telah melenakan, Kembalikan ingatan mereka saat susah dulu Ya Allah, agar Syukurlah yang selalu menggema di rumah kami kembali”.

Malam semakin larut menelan mahluk dari ufuk barat hingg ufuk timur akan terang benderang kembali. Aku tertidur di ruangan kecil di halaman rumah megah kami. Yang di sebut Ayah Musholla yang kini tak sempat lagi digunakannya untuk sholat berjamaah bersama lagi. Mereka sibuk berkeliling dari perusahaan yang satu ke perusahaan yang lain. Dari perjalan bisnis yang lain ke perjalanan bisnis yang penuh optimisme menambah kesuksesan mereka.

Pernah aku bertanya pada Ayah untuk apa harta yang begitu melimpah ini. Ayah menjawab untuk kami berdua anak Ayah tercinta. Subuh akan menjelang, mata terus berkaca di setiap malam. Menangis merintih,

Aku tak menginginkan kekayaan ini, Ayah.
  Aku tak berharap harta merubah segalanya, Ibu.
  Aku hanya berharap temani aku di malam ini
  Kita baca surat cinta Allah untuk mahluknya dengan mendayu dan khusyu
  Sebagai rasa Syukur kita atas nikmat hari ini dan esok yang akan datang.

   Ya, Allah..apakah yang harus kuperbuat untuk berusaha mengembalikan suasana keluarga ini seperti dulu. ”

Hingga Subuh tiba tetap saja aku bersimpuh sendiri,kecuali Bi, Imah mengajak berjamaah. Sekarang hanya bi Imah yang menemaniku di hari-hari panjang yang harus kuhadapi. Zeni tak pernah bangun walau kuketuk keras pintu kamarnya. Kebiasannya pulang dini hari menjadikannya melupakan kewajibannya.

Apakah ini azab Allah untuk keluarga kami. Dalam dzikir kusadari Allah SWT tak hanya memberikan ujian dengan Miskin, Sakit, Bahagia bahkan juga dengan kekayaan dan kesuksesan. Ya., Mungkin seperti keluargaku seperti ini. Apakah akan terus berlangsung sampai 20 tahun kedepan seperti prediksi Ayah akan kesuksesan yang dicapainya. ”Jangan....jangan...Ya Allah, bahkan aku ridho apabila kiamat hari ini agar azab di yaumil akhir kelak tak berat kami jalankan. Sebelum kelalaian terlanjur begitu lama.”.

Tangisku semakn memecah ruangan kecil....kemudian kusandarkan kepala ini di pangkuan Bi, Imah. Dia membelaiku dengan lembut. Sejenak mataku gelap. Nafasku mulai tersengal, kuucapkan ”Syahadat pelan kuucapkan, AsyhaduAllaillahaillallah Wa AsyhaduannaMuhammadarrasulullah”. Dunia gelap, senyap dan beitu henyap. Bibi tak sadar masih mengelus kepalaku. Hingga pagi terang. Penyakit Jantung telah menjangkit dan datang tiba-tiba. Tak ada desah nafas tersisa. Bi Imah bergegas berteriak-teriak. Memecah rumah megah tanpa penghuni. Zeni tertelungkup mengeluarkan busa dan cairan lainnya melalui hidung dan telinga. Obat terlarang merenggutnya. Ayah dan Ibu entah di bagian benua mana.

Bi, Imah berteriak meronta, dan tak ada satupun yang mendengar......

-         rumah ide –
-         untuk semua orang yang memuja kekayaan dunia yang fana –
-         di tulis di kebayoran baru – JakSel –
-         al iyan –
-         14.10 – 03 januari 2007 –




Inspirasi: ”Dunia dihuni empat ragam manusia. Pertama, seorang hamba diberi Allah harta kekayaan dan ilmu pengetahuan lalu bertakwa kepada Robbnya, menyantuni sanak-keluarganya dan melakukan apa yang diwajibkan Allah atasnya maka dia berkedudukan paling mulia. Kedua, seorang yang diberi Allah ilmu pengetahuan saja, tidak diberi harta, tetapi dia tetap berniat untuk bersungguh-sungguh. Sebenarnya jika memperoleh harta dia juga akan berbuat seperti yang dilakukan rekannya (kelompok yang pertama). Maka pahala mereka berdua ini adalah (kelompok pertama dan kedua) sama. Ketiga, seorang hamba diberi Allah harta kekayaan tetapi tidak diberi ilmu pengetahuan. Dia membelanjakan hartanya dengan berhamburan (foya-foya) tanpa ilmu (kebijaksanaan). Ia juga tidak bertakwa kepada Allah, tidak menyantuni keluarga dekatnya, dia tidak memperdulikan hak Allah. Maka dia berkedudukan paling jahat dan keji. Keempat, seorang hamba yang tidak memperoleh rezeki harta maupun ilmu pengetahuan dari Allah lalu diaberkata seandainya aku memiliki harta kekayaan maka aku akan melakukan seperti layaknya orang-orang yang menghamburkan uang, serampangan dan membabi-buta (kelompok yang ketiga), maka timbangan keduanya sama. (HR. Tirmidzi dan Ahmad)”

--------------------------------------
Artikel adalah original buatan saya, karena Multiply akan menghapus feature BLOG
maka saya pindahan content Blog saya ke Blogspot ini.

Source: http://ya2nya2n.multiply.com

No comments:

Post a Comment