Bismillahirrohmanirrohiim. Sebuah ransel besar berada dalam pandanganku. Menyita perhatian setelah beberapa tahun tak kulihat dan
kusentuh. Pagi penuh sinar lembut memasuki kamar berukuran 3x4m,
mencari celah diantara sempitnya kaca nako berjenis riben. Ransel
berkapasitas 50 liter yang kubeli 5 tahun lalu saat sekolah di sebuah
STM di Jakarta. Sepertinya ibu mengeluarkannya saat merapihkan lemari.
Tergeletak dipojok dekat pintu tepat di samping lemari. Memang sengaja
kusimpan di lemari yang kukunci agar tak kembali menerbangkan dalam
nostalgia lima tahun lalu. Sebuah tas ransel yang menjadi saksi
menggemparkan se-isi kampung tempat tinggalku dalam waktu 4 hari. Satu
hari waktu membeli ransel dan esok hari menjadi saksi kisah pilu dari
sebuah takdir yang telah tertulis dan tak dapat diubah.
Pernah
suatu hari terpikir untuk menghilangkan ransel itu tanpa bekas.
Mulailah mencari cara. Cara yang paling mudah adalah dengan membakarnya.
Akhirnya kurencanakan suatu malam nan sepi di depan gang tepat tengah
malam. Dengan sekotak korek dan segelas minyak tanah. Semua
sudah terlihat sempurna hingga sebuah suara seretan sandal terdengar
ditelinga. Semakin mendekat dan terdengar jelas mendekat kearahku. Tak
kuhiraukan sebenarnya. Kuletakkan diatas aspal dan bersiap mengguyur
ransel itu dengan segelas minyak tanah dan siaplah satu geretan saja
akan sirna ransel itu. Hingga saat akan kujatuhkan sebatang korek api
yang menyala. Suara teriakkan terdengar keras. Sepertinya dari sumber
suara seretan sandal tadi.
”Nak.......nak......di
pikir dulu....., kenapa bakar sate-nya pakai tas ransel. Tuch
dilapangan teman-teman kamu sedang bakar sate numpang aja. Jangan
sentimen gitu kalau gak bisa buat arang. Sampai pakai acara bakar tas
ransel segala. Sayang masih bagus ranselnya itu”.
Teriakkannya cukup mengehentikan niatku menjatuhkan nyala api yang berada di tanganku kini. Ah
andai saja suara itu tak terdengar olehku pasti sudah kujatuhkan saja
api ini. Namun tawa-an kecil menguasaiku. Bahkan sempat ku-ucapkan
terima kasih kepada bapak tua yang berjalan tergopoh membawa tas penuh
raket bulutangkis yang menandakannya baru saja melakukan olahraga
badminton dan pasti melihat teman temanku membakar sate disana. Salahku
juga merencanakannya di saat malam Idul Qurban yang pasti di setiap gang
di kampung-ku banyak anak muda sampai orang tua membakar sate. Pak tua
melewatiku begitu saja. Setelah jauh sedikit aku terbahak-bahak.
”...hwa...ha..ha.....qe...qe....qe......”
”Kebodohanku
kali ini. Kesalahan fatal”, Dalam hatiku kukatakan. Nasibmu masih bagus
ransel. Belum takdirmu. Malam itu kuhilangkan rencana menghilangkan
ranselku dengan membakarnya. Biarlah rencana kedua akan kujalankan
minggu depan. Nostalgia pilu 5 tahun lalu muncul kembali saat ku angkat
ranselku terasa berat dan seperti baru kemarin kejadian itu. Segera
kumasukkan dalam lemari kukunci rapat-rapat. Nafas ini tersengal. Pasti
seminggu ini tak kan terlupa kisah pilu 5 tahun lalu. Biarlah sambil
kupikirkan cara lainnya untuk menghilangkan ransel itu.
* * * *
Tepat satu minggu sudah. Langit
sore begitu cerah menampakkan sejuknya setelah panas seharian.
Kutemukan kali ini cara jitu mengenyahkan ranselku. Sebuah jembatan
dengan aliran sungai yang deras menjadi tujuanku kini. Tak jauh dari
kampungku. Sekitar satu kilometer. Biarlah kenangan ini akan menjadi
sejarah kisah pilu tas ransel di atas jembatan itu. Dan seumur hidupku
kan kuberi nama ”Jembatan Sirna Pilu”. Nasibmu disana ransel. Biarlah
aliran sungai membawa kenangan itu. Kunaiki sepeda motor astrea grand
tahun 93-ku. Ku gas kencang walaupun sadar kecepatannya tak kan lebih
dari 40 km/jam. Bahkan bajaj pun bisa membalapku walau bajaj itu sudah
ngepur (memberi kesempatan) berjalan 500 meter di depannya. Saking
lambatnya 30 menit waktu untuk mencapai jarak dari rumahku ke jembatan
Sirna Pilu.
Lalu lintas lalu lalang di jalan dua arah. Tak
terlalu ramai. Karena mungkin menjelang maghrib. Namun beberapa orang
terlihat di beberapa titik perempatan lampu merah yang berjarak 100
meter dari jembatan. Kuparkir motorku tepat di pinggir tengah jembatan.
Bajaj teman ngetracku sudah finsh satu kilometer di depanku. Tetap saja
aku merasa menang karena kini aku sudah berdiri di tujuanku. Bajaj itu
belum tentu sampai tujuannya, dalam hatiku tak mau kalah. Tak kusangka
tembok jembatan begitu tinggi. Jauh seperti dugaanku. Tak ada cara lain
harus naik sedikit di sela-sela kecil untuk tempat kaki memanjat.
Kupanjat dengan PD-nya jembatan yang sebentar lagi kuberi nama,
”Jembatan Sirna Pilu”. Kulepaskan ransel dari gendonganku. Seraya
bersiap melemparnya jauh-jauh. Dan hati mulai terisi rasa merdeka. Walau belum terlempar. Kuhitung samapi tiga, sambil mengayunnya.
”1....”,
”....2.....”,
”....ti...........”. aku tersentak. Kuhentikan hitungan.
Apa
yang terjadi. Kakiku seperti keram ada borgol yang seperti menyengkram
kaki-kakiku kini. Seperti akan terjatuh kupegang erat-erat dudukan
jembatan yang lancip agar tak ada orang yang duduk diatasnya. Hitunganku
terhenti kini. Segera kualihkan pandangan sambil mendekap tas ransel
dan ujung tembok tak rata. Kulihat puluhan orang tepat ada di bawahku
dan 4 orang telah memegangi kakiku dengan kuat yang tadi kukira borgol
mengekang kaki-ku. Teriakan mulai terdengar sangat histeris.
”Mas, jangan loncat mas, dosa bunuh diri itu..”
“Oiii.....mau mati loh...........”
“ihhh...kasihan ya, ganteng-ganteng mau bunuh diri.......”
“Turun....turun ...cepetan.......,nyapein tim sar aja loh entar kalau bunuh diri di sungai, nyarinya susah tahu....bunuh diri disini ntar ketemunya di muara angke.....”
“Iya turun mas..masih banyak solusi yang bisa dicari........”
“Alamak.....”.
dalam hatiku. Dengan pegangan erat tak dilepaskan aku turun dari tembok
jembatan itu. Ramai sudah orang-orang mengitariku. Segera terduduk
bersender tembok jembatan. Sambil tertawa kecil dan masih kupegang erat
ransel yang harusnya sudah kubuang tadi.
”hwa..ha..ha..ha, qe....qe....qe....hwa..ha..ha...qe...qe...qe”. tawaku semakin tinggi
”benerkan stress nih orang......”, teriakan terdengar dari kerumunan yang mengitariku.
Hatiku
mulai bergejolak kini. Kenapa sulit sekali menghilangkan tas ini.
Apakah takdirnya akan selalu bersamaku dan mengingatkanku akan kisah 5
tahun lalu. Mana mungkin. Aku tak percaya. Pasti semua yang ada di dunia
ini akan hilang dan sirna. Kalau tak ransel ini dulu atau mungkin aku
duluan pastinya. Hatiku mulai berfilsafat. Tak kuhiraukan kerumunan
orang dengan berbagai suara. Kini sebuah tangan memegangku. Sepertinya
tetanggaku sekampung. Mengajakku pulang. Dengan dibonceng menggunakan
motorku yang terpakir. Akhirnya kulalui kerumunan banyak orang yang
mengelilingiku tadi. Sambil tertawa dan tak menyangka menjadi serumit
itu kisahnya. Tetanggaku bercerita bahwa kemarin ada orang yang bunuh
diri disana. Jadi tak heran kalau semua yang lewat mengkhawatirkan orang
yang seperti kamu tadi. Bertambah terbahak aku. Biarlah menjadi
hiburanku. Kulupakan sejenak tas ranselku yang masih kupegang erat dalam
perjalanan pulang sebelum maghrib tiba. Entah kali ini kebodohanku lagi
atau memang takdir belum mengizinkan tas ransel ini sirna dari
hadapanku. Jembatan itu kembali tak bernama karena gagalnya rencana ke
duaku.
- * * *
Malam
itu begitu berat bagiku. Menjelaskan kepada keluarga apa yang
sebenarnya terjadi. Tetanggaku terlalu membesarkan kisah di jembatan
tadi. Sempat terpikir keluargaku untuk mengirimkanku ke seorang
psikiater. Ah..mana mungkin aku mau aku sehat-sehat saja. Kujelaskan
bahwa aku hanya ingin membuang tas ransel yang kini kuletakkan di atas
meja tamu. Tetapi tetap saja tak percaya seluruh keluargaku.
”Besok,
kamu harus ikut ayah ke psikiater pokoknya. Kalau sudah keluar hasil
pemeriksaan dari psikiater baru ayah percaya apa yang kau ceritakan”
Baiklah.
Tak ada yang bisa lagi kujelaskan. Ayah sudah bersikeras membawaku
besok ke psikiater. Malam itu berlalu. Esok hari terbukti aku tak
apa-apa. Seluruh keluarga tenang sekarang. Akhirnya mereka semua percaya
dengan ceritaku. Kini tas ransel itu bukan lagi tanggung jawabku
sendiri. Seluruh keluarga di rumah yang kutinggali ingin membantuku.
Malam esoknya di adakan rapat keluarga untuk sebuag solusi tas ransel
itu. Alhamdulillah. Mereka
mengerti akan beban 5 tahun lalu yang ada di otakku hingga kini. Seakan
satu kompi pasukan khusus (PASKHAS) infanteri TNI datang menghampiriku
menawarkan bantuan. Kini kuserahkan pada mereka jalan keluarnya. Setelah
beberapa masukkan akhirnya diputuskan untuk membuangnya di temapt
pembuangan sampah di bantar gebang. Dan malam ini juga. Walau
kekhawatiran menggelayuti seluruh keluarga kenapa tidak besok saja.
Tetapi keputusan sudah di ambil. Dengan mobil kijang yang terpakir tak
jauh dari rumah karena rumah kami tak memiliki lahan parkir dan gang
yang hanya selebar 2 meter tak mampu menerima lebar mobil kijang itu.
Pukul 9 malam seluruh keluarga harus ikut prosesi membuang tas ransel
ku. Seperti biasa kalau seluruh keluarga pergi dengan mobil kijang. Aku-lah
yang harus menyupirnya. Paling tidak satu jam sampai TPA Bantar Gebang.
Salah satu hal yang menjadi alasan terbaik membuang tas ransel di situ
adalah bahwa pasti akan sepi malam-malam seperti ini. Apalagi malam
jumat kliwon. Satu jam kemudian parkir lah mobil kijang keluarga ini.
Ibu, adik dan kakaku tidur sudah kelelahan melihat jalan yang gelap.
Ayah dan aku memutuskan untuk membuangnya berdua saja. Masih menyalakan
mesin dan lampu depan mobil berjalanlah kami keluar mobil membawa tas
ranselku, yang telah dua kali membuat masalah untukku. Semoga kali ini
lancar-lancar saja. Doaku dalam hati. 10 meter kemudian. Kami berdua
membuangnya.
”Bismillahirrohmanirrohiim......” ucap ayah dan aku yang agak merinding dengan gelapnya keadaan.
Tumpukan
sampah memenuhi TPA Bantar Gebang. Seperti gunung-gunung buatan. Sampah
limbah manusia. Menjadi gunung kini. Kadang kita perlu berterima kasih
pada pemulung yang membantu meratakan gundukan gunung itu. Kalau saja
tidak pasti sudah bisa mengalahkan tinggi dari gunung salak di bogor.
Beberapa meter lagi sampai mobil. Sebuah teriakan mengagetkanku dan
ayah. Pasti teriakan tak enak, dalam hatiku. Seperti dua kali kesempatan
untuk mengenyahkan ransel itu dari diriku. Dan berakhir dramatis namun
humoritis (serba tis pokoknya...berarti sekarang tis apa lagi ini). Aku
telah terbiasa tetapi ayah sepertinya terlihat bergetar seraya memegang
tanganku.
”Berhenti......penjahat pembuang mayat............” teriak beberapa orang yang berlari dari balik gundukan sampah.
”Astaghfirullah............”, ayah mengucapkan istighfar dan bergetar.
Beberapa menitt kemudian kerumunan orang mengitari kami. Seorang polisi menghampiri dan membawa ransel yang telah kami buang.
”Baiklah bapak ikut kami sekarang ke kantor....” polisi itu berkata pada kami.
Syukurlah
dalam hatiku. Daripada habis di pancong dengan besi alat pengais sampah
orang di TPA Bantar Gebang ini lebih baik ikut bersama polisi itu.
Kukatakan kami membawa keluarga. Sebenarnya sempat menceritakan hal
sebenarnya namun polisi itu meminta diceritakan di kantor polisi saja. Akhirnya
satu mobil kijang dengan di kawal mobil patroli digiring ke kantor
polisi. Sejurus kemudian sampai di kantor polisi. Seluruh keluarga
menjelaskan kejadian sebenarnya. Polisi pun tak dapat berkata apa-apa
karena di dalam ransel juga kosong tak berisi. Sejurus kemudian kami
sekeluarga dilepaskan. Kutinggalkan kantor polisi. Ayah, ibu, kakak dan
adik sudah bersiap di mobil kijang. Belum lagi kubuka pintu mobil.
Seorang polisi berteriak.
”Mas, tas ranselnya ketinggalan, nih,” diberikannya padaku.
”Alamak.....balik
lagi nih ransel. Ada apa sih sebenarnya ransel ini...susah banget di
sirnakan dari duniaku...” ucapku sambil menutup pintu mobil dan berlalu.
Malam
semakin larut. Sesampainya di rumah seluruh keluarga tak ada yang
berkomentar semuanya bergegas menuju kamarnya masing-masing. Mungkin
semua sudah merasa bagaimana saktinya si tas ransel itu. Dan kini,
Kecuali aku yang semakin bingung dengan tas ransel di tangannku, sambil
tertawa kecil kurebahkan tubuh di kasur empuk kamarku. Dan tertidur
bersama beberapa ”kisah pilu tas ransel” di beberapa minggu ini.
Qe....qe...qe... dan aku tertidur
pulas....<(^_^)>z...z..z..z....... (bersambung)
Adakah
yang bisa memberikan solusi.......??????............ – ada ide
bagaimana nasib ransel ini mau di apakan?????ditunggu ya.....masukkannya
sangat berpengaruh untuk kisah selanjutnya.......qe...qe.....qe...
- al iyan –
- untuk semua orang agar tersenyum hari ini –
- laboratorium ide – jatibening –
- 00.04 –
--------------------------------------
Artikel adalah original buatan saya, karena Multiply akan menghapus feature BLOG
maka saya pindahan content Blog saya ke Blogspot ini.
Source: http://ya2nya2n.multiply.com
No comments:
Post a Comment